MuTeknologi Software
Link
  • Home
  • Blog
  • MoTuM
  • MuSed3D
  • MuDrillCutting3D
  • MuQual3D
  • MuHeat3D
  • MuTsunami
  • Lecture Notes
  • Marine Facility Design
  • Application MuTeknologi Software

Menghadapi Global Warming, Infrastruktur Hijau Menjadi Keharusan

11/28/2021

0 Comments

 

Menghadapi Global Warming, Infrastruktur Hijau Menjadi Keharusan
 
Muslim Muin
Dosen Institut Teknologi Bandung
Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan DKI

 
Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan bahwa penyebab banjir di Sintang adalah akibat kerusakan hutan. Saya yakin pembaca setuju dengan saya bahwa kita perlu menghargai sikap tegas presiden ini, dengan bijaksana mengakui kesalahan/aib pemerintah selama puluhan tahun ini, dan berjanji akan memperbaikinya segera. Presiden tidak keluar dengan solusi Normalisasi Sungai dengan memperlebar dan menanggul sungai dengan sheet pile, tapi dengan Naturalisasi yaitu memperbaiki pengelolaan Catchment Area atau Daerah Tangkap Air (DTA) karena perubahan tataguna lahan tanpa kendali. Jika Normalisasi sungai dilakukan di Sintang, pemerintah harus melakukannya dari hilir ke hulu, panjangnya lebih dari 300 km, jelas pemerintah tidak akan mampu melakukannya. Seandainya sungai di Sintang dilakukan normalisasi, sementara di hilir tetap tersumbat, niscaya Sintang akan tetap banjir.
 
Infrastruktur Hijau (Naturalisasi) vs Infrastruktur Keras (Normalisasi)
Istilah Naturalisasi dan Normalisasi dalam penataan sungai di Indonesia sebetulnya kurang lazim. Istilah yang lebih lazim adalah Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure) untuk istilah Naturalisasi, dan Infrastruktur Keras (Hard Infrastructure) untuk istilah Normalisasi yang kita kenal selama ini. Pemerintah sudah terlanjur memakai istilah Normalisasi Sungai waktu memperlebar, mengeruk, meluruskan, dan memasang Sheet Pile sepanjang sungai-sungai untuk mengendalikan banjir di Indonesia. Sebetulnya yang dilakukan pemerintah ini justru bertolak belakang dengan normalisasi sungai itu sendiri. Yang dimaksud dengan Normalisasi Sungai adalah mengembalikan sungai pada kondisi semula atau kondisi normalnya, dimana kelokan sungai tetap dipertahankan, sungai tetap punya ruang untuk meluap, perubahan lahan dikendalikan, dan sebagainya. Sementara Naturalisasi sebetulnya adalah proses perubahan status seorang warga negara, dan tidak lazim dipakai untuk penataan sungai. Kita lanjutkan saja pembahasan masalah ini, apalah artinya sebuah istilah sepanjang kita paham apa yang dimaksud dari kedua istilah tersebut.
Normalisasi adalah sebuah usaha untuk menormalkan sebuah kondisi yang tidak normal menjadi normal. Land Subsidence atau penurunan muka tanah adalah sebuah contoh kondisi tidak normal, perlu normalisasi. Melindungi daerah itu dengan tanggul, pintu air, dan pompa atau dikenal sebagai sistim polder adalah salah satu bentuk keterpaksaan. Normalisasi menjadi sebuah keterpaksaan karena hampir tidak mungkin mengembalikan Daerah Land Subsidence tersebut ke elevasi semula, walaupun mungkin bisa menghentikannya. Memperbesar kapasitas saluran drainase dan sungai dengan pelebaran dan mempertinggi tanggul juga sebuah Normalisasi jika kerusakan DTA yang mengakibat Debit Banjir makin besar dianggap sebagai Debit Normal.
Yang dimaksud Naturalisasi disini adalah suatu usaha memperbaiki sebuah masalah melalui cara yang lebih ramah lingkungan. Naturalisasi kita butuhkan dalam menghadapi ancaman Global Warming, tidak hanya di Jakarta tapi untuk seluruh Indonesia. Solusi presiden untuk memperbaiki Daerah Tangkap Air (DTA) di Sintang  merupakan sebuah usaha Naturalisasi. Biaya memperbaiki DTA jauh lebih murah dan bermanfaat daripada biaya Normalisasi Sungai. Dari kejadian Banjir Sintang dan Banjir Ciliwung, kita bisa lihat, naturalisasi itu sudah menjadi sebuah keharusan apalagi menghadapi Global Warming.
Global Warming adalah ancaman nyata yang jadi perhatian serius pemimpin dunia. Selain berdampak pada pola arus laut global yang menakutkan, akibat  dari pemanasan global adalah; (1) Sea Level Rise atau kenaikan muka air laut, (2) Perubahan cuaca Ekstrim. Solusi yang tepat dari Presiden Joko Widodo untuk kasus Banjir Sintang perlu menjadi landasan nasional menhadapi Global Warming.
 
Kenaikan Muka Air Laut Akibat Global Warming dan Pasang Surut
Sea Level Rise akibat Global Warming masih kecil yaitu sekitar 1,6 mm per tahun dan nilainya hampir merata untuk seluruh dunia. Sea Level Rise bukan ancaman Negara. Belum ada Negara di dunia ini yang membangun tanggul laut karena ancaman Sea Level Rise.
Tiap jam elevasi air laut naik turun secara teratur. Pasang Surut adalah naik turunnya muka air laut akibat gaya tarik menarik bumi dengan planet lain. Tarik menarik bumi tidak akan pernah berubah kecuali ada perubahan geometri yang signifikan dan dunia mendekati kiamat. Pasang surut suatu daerah tidak akan dipengaruhi oleh Global Warming.
Sampai saat ini banyak orang belum memahami pasang surut laut. Makin tinggi tunggang pasang surut akan lebih mudah mengendalikan banjir dan kualitas air di Teluk Jakarta. Di Jakarta nilai tunggang pasang surut hanya sekitar 1,2 meter, jauh lebih rendah dibandingkan di Korea yang bisa mencapai 8 meter. Korea menutup teluk karena bisa memanfaatkan pasang surut. Tanggul laut Saemangum Korea hanya memerlukan pintu air untuk mengendalikan banjir. Pintu Air dibuka saat air laut surut yang kemudian ditutup saat air laut pasang. Selisih tinggi muka air ini dimanfaat sebagai tampungan air banjir. Jadi tanggul laut Saemangum tidak memerlukan pompa raksasa, biaya operasi sangat murah. Berbeda dengan Teluk Jakarta, apabila teluk ditutup maka diperlukan pompa raksasa terbesar di dunia, besarnya ribuan m3/det. Jelas, pasang surut bukan ancaman negara.
Selain pasang surut, muka air laut juga bisa naik karena dorongan gaya angin atau badai yang dikenal sebagai Storm Surge. Beruntung, Indonesia berada di jalur equator, badai angin kencang yang menenggelamkan Kota New Orleans Amrika Serikat, hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia. Dengan perubahan iklim sekalipun nilai Storm Surge di Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan negara subtropis.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Sea Level Rise bukan ancaman negara, kenaikan muka air laut bukan penyebab Banjir Rob, tapi Land Subsidence sebagai penyebabnya. Tanah yang turun dikira Air Laut yang naik.
 
Perubahan Cuaca Ekstrim Akibat Global Warming
Perubahan Cuaca Ekstrim akibat Global Warming adalah ancaman serius untuk negara kita. Bisa dibayangkan, jika kita tidak menyimpan air di dalam tanah selama hujan, Indonesia akan kekurangan air dalam musim kemarau yang sangat menakutkan.
Kenapa sebaiknya menyimpan air dalam tanah daripada di waduk? Karena dengan menyimpan air dalam tanah dapat menghindari pengurangan air akibat penguapan. Contohnya waduk di Los Angeles California, Amerika Serikat malah diberi bola-bola plastik untuk mengurangi kehilangan air akibat penguapan. Keuntungan menyimpan air ke dalam tanah, akan memperbaiki kerusakan aquiver air tanah yang jadi salah satu penyebab Land Subsidence.
Perubahan Cuaca Ekstrim juga telah merubah pola intensitas hujan ekstrim, mengakibatkan puncak intensitas hujan ekstrim semakin tinggi. Hanya Tuhan yang bisa mengendalikan curah hujan, tapi manusia bisa mengendalikan debit banjir melalui pengendalian DTA. Naturalisasi di DTA adalah kunci untuk menghadapi ancaman perubahan cuaca ekstrim akibat global warming.
 
Naturalisasi Daerah Tangkap Air (DTA) dengan Gerakan Lumbung Air (GELA)
Naturalisasi Sungai tidak bertujuan untuk mempercantik sungai dengan batu-batu alami sehingga kelihatan lebih alami, indah dipandang mata, lebih menyerap air, dan jadi tempat wisata. Penyerapan air disepanjang sungai itu sangat kecil. Naturalisasi tidak dilakukan di sungai tapi di Daerah Tangkap Air (DTA).
Naturalisasi adalah sebuah usaha mengembalikan DTA sesuai dengan fungsi alaminya yaitu sebagai tampungan, pengendalian debit permukaan (Runoff), penyerapan, dan penahan erosi. Dengan mengendalikan DTA, kita bisa memangkas puncak debit banjir, menguragi erosi, dan menabung air dalam tanah untuk dimanfaatkan saat musim kemarau. Naturalisasi jangan selalu diartikan sebagai keharusan untuk mengembalikan sebuah kawasan menjadi hutan.
Perubahan lahan tidak bisa dihindari karena manusia membutuhkan lahan untuk berladang, beternak, dan tempat tinggal. Beruntung, nenek moyang Indonesia sudah mewariskan kita dengan cara-cara yang cerdas dalam mengendalikan DTA dengan naturalisasi, yaitu yang dikenal dengan terasering. Sawah dan kebun di Bali, Jawa, Sumatera, dan daerah lainnya, dibangun nenek moyang kita dengan terasering, yaitu menangkap air hujan, mengendalikan air permukaan (Runoff), mengurangi erosi, dan memperbesar penyerapan air ke tanah. Kenapa kita tetap melupakan kearifan lokal ini padahal sudah merdeka 76 tahun.
Gerakan Lumbung Air (GELA) bukan barang baru. Mengikuti nenek moyang Indonesia agar hidup  bersahabat dengan air hujan; (1) Tampung Air Hujan, (2) Gunakan Air Hujan, (3) Resapkan Air Hujan ke tanah sedapat mungkin, dan (4) Sisanya baru dibuang perlahan.
Generasi yang lahir sekitar tahun 1960 pasti masih ingat saat ke kampung mengunjungi nenek tercinta. Nenek kita punya bak tampungan air hujan yang besar dan dalam. Air hujan ditangkap dari atap rumah masuk bak besar. Dulu kita mandi dari tampungan air hujan yang dingin dan segar. Dengan menampung dan menggunakan air hujan, nenek kita sudah sudah memangkas puncak debit air ke saluran.
Sudah jadi tradisi bangsa Indonesia bahwa tiap rumah akan dilengkapi dengan empang tampungan air hujan, tidak hanya sebagai tempat membersihkan kaki sebelum masuk rumah tapi juga sekaligus sebagai tempat memelihara ikan untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga. Empang ini juga berfungsi sebagai tampungan air untuk menyerapkan air ke dalam tanah dan mengeluarkan air hujan secara perlahan.
 
Naturalisasi Banjir Lokal dan Banjir Kiriman
Waduk Ciawi yang sedang dibangun pemerintah jelas sangat efektif memangkas puncak debit banjir Sungai Ciliwung. Membangun waduk kering seperti Waduk Ciawi adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi masalah Banjir Kiriman ke Jakarta. Membangun waduk sering terkendala dengan lahan yang tersedia dan biaya yang besar. Mengendalikan DTA dengan GELA jauh lebih murah dan mudah untuk memperkecil puncak debit banjir.
Selain akibat Banjir Kiriman, genangan di sebuah kawasan bisa disebabkan sistim drainase yang tidak memadai. Memperbesar drainase akan percuma kalau sungai sebagai tempat pembuangan air juga meluap. Kita tidak ada pilihan lain yaitu menampung air dari kawasan di waduk atau menjalankan GELA. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah membangun waduk besar dalam sebuah kawasan perumahan lebih efektif daripada melalui GELA? Jika kita membangun waduk besar, dengan sendirinya akan membutuhkan saluran drainase besar untuk mengalirkan air dari kawasan ke waduk tersebut. Dengan GELA kita menangkap air langsung dari persil-persil rumah dan dimasukkan ke dalam tanah sedapat mungkin, kebutuhan akan saluran drainase bisa jadi lebih kecil. Menangkap air hujan di persil-persil perumahan jauh lebih efektif untuk mengendalikan Banjir Lokal dan lebih aman untuk memperbaiki lapisan aquiver.

Sumur Resapan, Menampung Air di Taman, Memasukkan Air Hujan dari Atap ke Sumur Rumah
Membangun Sumur Resapan (SR) juga sebuah usaha untuk memperbaiki DTA. SR tidak bisa jadi obat untuk banjir kiriman. Air permukaan ditampung di SR dengan harapan akan terserap ke dalam tanah. Disain standar pembangunan SR adalah untuk Muka Air Tanah (MAT) minimum 4 meter dari permukaan. SR hanya untuk air hujan bukan untuk air buangan. Dengan menampung air hujan dan menyerapkannya kedalam tanah secara perlahan, artinya kita akan memangkas Puncak Debit Banjir.
Jika sebuah kawasan memiliki MAT yang dangkal dan susah menyerapkan air kedalam tanah maka tampungan air hujan yang dibangun diatas tanah akan sangat bermanfaat dalam memangkas puncak debit banjir. Jika tampungan air hujan tersebut dilengkapi dengan sebuah pembuangan kecil, maka air ditampungan akan dikeluarkan dalam waktu yang lebih lama dan debit air yang mengalir ke drainase menjadi lebih kecil.
Merubah taman perkotaan dari cembung menjadi cekung juga sebuah bentuk Naturalisasi. Taman yang cekung akan menampung air hujan terlebih dahulu, selanjutnya meresap ke dalam tanah. Jika tetap ada genangan karena kondisi tanah tidak menyerapkan air, genangan ini bisa dipompa ke drainase perlahan. Menampung air hujan dan taman-taman rumah sangat efektif dalam memangkas Puncak Debit Banjir.
Hampir delapan puluh persen dari tataguna lahan di Jakarta merupakan gedung dan perumahan. Sebagian besar warga Jakarta (50%) menggunakan sumur sebagai sumber air baik dari sumur gali maupun sumur bor. Jika air dari talang atap rumah ditampung dulu di tampungan air yang berfungsi sebagai penyaring sebelum masuk ke dalam sumur-sumur rumah, dampaknya akan luar biasa dalam memangkas puncak debit banjir kota Jakarta.
 
Normalisasi Sungai
Normalisasi Sungai Ciliwung di Jakarta selalu menjadi perdebatan sengit baik di kalangan akademisi bahkan sudah melebar ke ranah politik. Padahal akar masalah dan solusi sangat sederhana yang sama dengan kasus Banjir Sintang, yaitu memperbaiki DAS Ciliwung.
Normalisasi Sungai bertujuan memperbesar kemampuan sungai atau saluran untuk mengalirkan air ke hilir, Normalisasi dilakukan dengan cara berikut; (1) Memperbesar penampang sungai dengan memperlebar, memperdalam, dan mempertinggi tanggul, (2) Memperbesar kecepatan aliran dengan mempertajam kemiringan sungai dan rekayasa kekasaran sungai. Normalisasi harus dimulai dari hilir bukan dari hulu. Normalisasi harus dimulai dari Kanal Banjir Barat bukan dari Ciliwung.
Normalisasi Sungai membutuhkan dana yang besar dengan konsekuensi yang besar pula. Membuang air ke laut secepatnya mengakibatkan kita akan kekurangan air saat kemarau panjang. Ancaman nyata dari global warming  adalah perubahan cuaca ekstrim, musim hujan yang singkat dengan intensitas hujan yang tinggi, dan musim kemarau yang panjang. Membuang air hujan secepatnya ke laut sebuah langkah yang berbahaya untuk ketahanan Negara.
Sebetulnya yang tidak normal itu penampang sungai atau debit sungai yang semakin tidak normal karena akibat kerusakan DAS? Berapa besar debit sungai yang dianggap sebagai Debit Normal itu? Sementara kerusakan DAS Ciliwung tetap dibiarkan berlanjut. Mempersempit sungai untuk pemukiman jelas perbuatan yang salah dan harus ditertibkan, tapi memperlebar sungai untuk membuang air secepatnya adalah sebuah kebijakan yang tidak tepat terutama ketika negara dibawah ancaman global warming. Solusi yang tepat adalah seperti disampaikan Presiden Joko Widodo, yaitu memperbaiki DTA.
 
Normalisasi Drainase
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan sistem drainase yang baik sesuai dengan rencana dan bekerja normal atau tidak tersumbat. Jika kemiringan sama, makin ke hilir ukuran penampang drainase seharusnya semakin besar. Tidak jarang kita jumpai malah sebaliknya, misalnya kasus di Jalan Panjaitan Jakarta yang sering tergenang. Di lokasi ini bisa kita jumpai 3 saluran drainase besar menuju gorong-gorong kecil, sudah pasti meluap. Jika gorong-gorong ini diperbesar atau ditambah, luapan ini akan pindah di hilir karena ukurannya juga kecil. Bisa disimpulkan bahwa Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu. 
Sistem saluran drainase dirancang mengalirkan air untuk curah hujan tertentu. Intensitas hujan berapa yang bisa dianggap normal itu, curah hujan ekstrim dengan perioda ulang 10 tahunan, 20 tahunan, atau 100 tahunan? Waktu kejadian hujan ekstrim malam tahun baru 2020, banyak kalangan yang menyalahkan Pemda DKI tidak becus bekerja. Padahal hujan yang turun saat itu sangat ekstrim, intensitas hujan tertinggi selama ini, 377 mm/hari atau hujan dengan periode ulang 300 tahun. Lalu apakah kita harus merancang Sistem Drainase untuk periode ulang 300 tahunan? Tentu tidak tepat karena tidak ada kota di dunia yang merancang Sistem Drainase untuk curah hujan yang demikian besar. Jika kita merancang Sistem Drainase untuk curah hujan 300 tahunan, Jakarta akan penuh dengan saluran, tidak ada lagi ruang untuk perumahan, gedung, kantor, jalan, dan sebagainya.
Drainase tidak dibangun untuk menerima luapan sungai tapi dirancang untuk mengalirkan air dari DTA ke sungai. Sistim drainase akan bekerja normal kalau sungai tidak meluap atau tersumbat. Memperlancar drainase di Jakarta, sementara muara tetap tersumbat, tidak akan menyelesaikan masalah.
 
Normalisasi dan Naturalisasi di Kawasan Land Subsidence Jakarta
Penurunan muka tanah (Land Subsidence) sebuah ancaman nyata untuk Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia. Laju penurunan tanah di Jakarta hampir 30 kali Sea Level Rise. Land Subsidence adalah ancaman serius Negara Indonesia. Pada saat air laut pasang tinggi, air menggenangi lahan di pantai yang dikenal sebagai banjir rob. Jelas kondisi ini adalah sebuah kondisi yang tidak normal dan perlu dinormalkan. Normalisasi harus dilakukan dengan melindungi daerah Land Subsidence tersebut dengan membangun tanggul dan menyediakan pompa yang mencukupi saat hujan. Daerah Land Subsidence harus diperlakukan sebagai polder dimana hanya air hujan yang masuk bukan air dari kawasan sekitarnya. Jelas Jakarta terpaksa  melakukan Normalisasi ini karena Land Subsidence susah dikendalikan.
Selain Normalisasi dengan pompa dan tanggul, Naturalisasi tetap diperlukan di daerah Land Subsidence. Membangun waduk dan melaksanakan Gerakan Lumbung Air (GELA) termasuk Naturalisasi. Walaupun daerah Land Subsidence tersebut tidak bisa menyerapkan air, GELA tetap berguna karena bisa memperkecil saluran drainase dan besar pompa yang diperlukan. Sebagai contoh adalah masalah Land Subsidence di kawasan Kamal Jakarta yang sering dilanda banjir. Debit Rencana dengan perioda ulang 25 tahun dari total DTA polder Kamal ini sekitar 160 m3/det. Apakah dengan pompa 160 m3/det akan menyelesaikan masalah? Belum tentu, karena pompa besar akan memerlukan saluran besar pula. Memperbesar saluran di kawasan perumahan padat seperti di Kawasan Kamal bukan perkara mudah, dan boleh dikatakan sangat sulit. Untuk memperkecil kebutuhan pompa di muara Kamal tersebut, pada masing-masing DTA perlu dibangun waduk-waduk untuk memangkas puncak debit banjir dan memperkecil kebutuhan saluran dari masing-masing DTA sehingga dengan pompa 30 m3/det diharapkan polder Kamal tidak banjir lagi. Jadi jelas Naturalisasi di kawasan Land Subsidence sudah menjadi keharusan.
 
 
Masalah Kemampuan Membuang Air ke Laut di Muara Jakarta
Masalah utama dari sungai-sungai di Jakarta adalah kemampuan sungai untuk mengeluarkan air ke laut itu sangat terbatas karena tunggang pasang surut di Jakarta sangat rendah. Untuk daerah hilir yang sudah dipengaruhi pasang surut, kecepatan air sungai menuju laut menurun drastis sehingga diperlukan penampang sungai yang sangat besar.
Misalnya untuk muara Kanal Banjir Barat (KBB), kemampuan mengalirkan air ke laut hanya sekitar 300 m3/detik, seandainya Ciliwung dilakukan Normalisasi, debit air yang akan menuju muara sekitar 800 m3/det, sudah pasti banjir. Untuk memperlebar daerah muara saat ini sangat tidak mungkin karena harus memindahkan banyak bangunan tinggi. Kasus yang hampir sama terjadi di Cengkareng Drain, kemampuan muara mengeluarkan air ke laut kurang dari 200 m3/det. Jika Kali Angke dan Kali Pesanggrahan dilakukan Normalisasi, maka debit air yang akan lewat sekitar 720 m3/det, sudah pasti banjir. Mengeringkan genangan di daerah hilir jauh lebih susah dari hulu karena diperlukan pompa. 
Selain memperlebar KBB dan Cengkareng Drain. Kita bisa juga mempertinggi tanggul diatas jalan, tanggul setinggi 8 meter sangat beresiko, selain kita harus mempertinggi jembatan dan lain-lain yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Alternatif lain adalah mengeruk kedua sungai tersebut sampai kedalaman 8 meter dibawah Surut Laut Terendah, Lowest Water Spring (LWS). Laut adalah titik terendah di muka bumi. Jadi mestinya kita mendekatkan laut ke daerah genangan bukan menjauhi laut dengan menutup teluk. Mengeruk sungai-sungai sampai kedalaman 8 meter dibawah LWS bisa menjadi solusi Banjir Jakarta. Artinya kita membawa laut masuk kea rah genangan. Dampak dari mengeruk adalah masuknya air asin (salinity intrusion) dan pengendapan sedimen akan terjadi di sungai jika terhubung dataran tinggi. Sehingga harus ada program pengerukan rutin di sungai tersebut.
 
Resonansi Gelombang Pasang  Surut di Sungai dan Kanal
Membuat kanal yang dipengaruhi pasang surut harus memperhatikan aspek resonansi gelombang pasang surut. Makin panjang kanal yang dikeruk, tunggang pasang surut di kanal tersebut akan makin besar. Resonansi akan terjadi jika panjang kanal mendekati seperempat panjang gelombang pasang surut. Jadi pengerukan harus dilakukan dengan hati-hati, jika terjadi resonansi, tunggang pasang surut di kanal akan besar sekali walaupun pasang surut di Teluk Jakarta tidak akan berubah.
 
Penutup
Kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) akibat Global Warming bukanlah ancaman Negara karena nilainya kecil, dan belum ada Negara di dunia yang membangun tanggul laut menghadapi Sea Level Rise. Ancaman negara yang paling serius yaitu Land Subsidence dan Perubahan Cuaca Ekstrim
Menghadapi ancaman Global Warming, Infrastruktur Hijau (Naturalisasi) menjadi sebuah keharusan, sementara Normalisasi sebaiknya kita lakukan karena keterpaksaan. Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu. Normalisasi harus dimulai dari Muara Kanal Banjir Barat bukan dari Ciliwung. Menyelesaikan genangan di hilir akibat luapan sungai dari hulu jauh lebih susah daripada genangan di hulu. Genangan banjir dihilir harus dikeringkan menggunakan pompa. Sedangkan genangan di hulu bisa lebih cepat karena dibantu oleh gaya gravitasi.
Normalisasi dan Naturalisasi sama-sama kita butuhkan menghadapi ancaman Global Warming di daerah Land Subsidence. Normalisasi dilakukan karena suatu keterpaksaan sebab kita tidak mempunyai pilihan lain, sementara Naturalisasi adalah sebuah keharusan karena pompa besar butuh saluran besar.
Gerakan Lumbung Air (GELA) adalah pilihan yang paling tepat sebagai Solusi Banjir di Indonesia. GELA adalah gabungan gerakan Rain Harvesting dan Vertikal Drainase, warisan kearifan nenek moyang Indonesia, sangat efektif untuk melandaikan Puncak Debit Banjir. Khusus untuk Jakarta jika GELA dilakukan di persil-persil perumahan, akan memangkas Debit Banjir paling tidak 50%.
Masalah utama di sungai-sungai Jakarta adalah kemampuan mengeluarkan air ke laut yang sangat kecil. Membangun pompa besar di hilir tidak akan menyelesaikan masalah karena pompa besar akan membutuhkan saluran yang besar pula yang sulit dibangun karena keterbatasan ruang di kota-kota besar. Memperbesar ukuran drainase akan percuma jika daerah hilir tersumbat.
Mendekatkan laut ke daerah genangan melalui pengerukan dan menanggul sungai di muara harus dilakukan dengan memperhatikan dinamika laut pasang surut, salinitas, dan sedimentasi.
0 Comments

Jawaban Muslim Muin untuk ibu Emmy Hafid

2/11/2017

0 Comments

 

Jawaban Muslim Muin (warna Hitam) untuk ibu Emmy Hafid (warna Biru)

Kenapa saya Tidak Mempersoalkan Reklamasi Teluk Jakarta?
Emmy Hafild
------------------------------

Sebagai mantan Direktur WALHI dan Greenpeace Southeast Asia, mengapa saya tidak mempersoalkan reklamasi Teluk Jakarta yg dimulai dimasa Suharto dan diteruskan pelaksanaannya oleh Gubernur Petahana?

Jawaban saya:
1. Teluk Jakarta adalah suatu ekosistem yang sudah rusak, sudah dalam tahap tidak dapat balik. Untuk memperbaikinya ke keadaan semula memerlukan biaya yang sangat besar dan hampir mustahil.


*Jawaban MM:*
*Teluk Jakarta itu perairan bukan daratan... jika daratan yg tercemar reklamasi solusinya... jika teluk direklamasi volume air di Teluk Jakarta akan makin sedikit... Kadar Polutan akan meningkat jika Sumber Polutan tidak dikendalikan... solusi Teluk Jakarta adalah mengendalikan Sumber Polutan... bangun Pengolah Limbah (STP) dan Saluran Limbah (Sewer)*

2. Sebab-sebab kerusakan:
2.1 endapan yg dibawa 13 sungai yg bermuara di sana, dalam jumlah ber ton-ton per hari selama puluhan tahun telah menutupi dasar laut Teluk Jakarta, sehingga penuh lumpur puluhan meter tingginya.


*Jawaban MM:*
*Kalau Teluk Jakarta direklamasi... akibatnya tinggi lumpur akan meningkat drastis karena mulut2 sungai tersumbat*

2.2 pencemaran yg terjadi selama puluhan tahun oleh industri di sepanjang 13 sungai tsb telah menyebabkan terjadinya pencemaran logam berat di berbagai titik sepanjang pantura Jakarta. ( BLH DKI). Untuk menormalisasinya, memerlukan biaya yang sangat besar.

*Jawaban MM:*
*Jika reklamasi dilakukan, normalisasi tetap harus dilakukan dan biayanya makin besar...*

2.3 penurunan muka tanah yg terjadi setiap tahun rata-rata 7,5 cm pertahun, di beberapa titik sampai 17 cm per tahun, akibat penyedotan air tanah berlebihan, telah menyebabkan daratan Pantura berada di bawa muka air. Banjir rob terjadi setiap bulan purnama, tanggul pun tidak akan mampu mencegah rob karena tanggulnya juga ikut turun.

*Jawaban MM:*
*Hentikan penyedotan air tanah tanpa reklamasi*

2.4 reklamasi yang telah dilakukan di beberapa bagian Pantura seperti di PIK, Pantai Mutiara dsb, terhadap rawa-rawa yang seharusnya penyerap air banjir, itu telah merusak kemampuan ekosistem setempat untuk menyerap air.

*Jawaban MM:*
*Makanya hentikan reklamasi 17 pulau palsu*

3. Pantura Jakarta sudah tidak layak huni. Pilihan bagi Pantura adalah: di tinggalkan (abandoned) atau di lakukan adaptasi dengan membuat ekosistem baru.

*Jawaban MM:*
*Perkuat Tanggul Pantai dan Sungai di Daerah Land Subsidence... Jakarta Utara jadi Layak Huni*

4. Mengevakuasi Pantura berarti mengevakuasi ratusan ribu orang yang tinggal di sepanjang pantai Pantura. Dan ini hampir mustahil dan memerlukan biaya yang sangat besar.

*Jawaban MM:*
*Kenapa harus dievakuasi kalau sudah Layak Huni?.. Penutupan Pelabuhan Perikanan dan PLTU Muara Karang... negara rugi hampir seratus Triliun... demi pengusaha reklamasi?*

*Akibat Reklamasi... Jakarta harus bangun GSW... air dalam teluk harus diturunkan sebesar 3 meter kecuali bisa bangun pompa sebesar Debit Banjir 3000 m3/detik... air teluk diturunkan 3 meter... PLTU dan Pelabuhan Perikanan harus tutup... Kerugian Negara bisa mencapai Seratus Triliun... demi pengusaha reklamasi?...*

5. Pilihan terakhir adalah adaptasi dengan membuat ekosistem baru sehingga layak dihuni. Hampir tidak ada habitat asli atau ekosistem yang dapat diselamatkan di Pantura Jakarta.

*Jawaban MM:*
*Ekosistim Baru?... Reklamasi dan GSW menciptakan Ekosistim Buruk dengan Biaya Operasi yang Sangat Besar... biaya pompa sangat besar... pompa mati Jakarta tenggelam... membersihkan air yg sudah bercampur dengan sungai biayanya besar sekali*

Solusi yang dibuat NCICD yg dibuat dimasa Presiden SBY dan ditandatangani oleh Menko Perekonomian Hatta Radjasa dan yang diteruskan dengan tindakan yang lebih menyeluruh oleh gubernur petahana adalah:
1. Menghentikan subsiden (penurunan) muka tanah dengan menghentikan penyedotan air tanah. Gubernur petahana merencanakan sekuat tenaga bahwa pada tahun 2019 seluruh Jakarta akan mendapat air bersih dari PAM. Halangannya adalah negosiasi dengan perusahaan air yg diswastakan sejak Gubernur terdahulu yang masih belum tuntas.


*Jawaban MM:*
*Tanpa Reklamasi... penyedotan tanah bisa dihentikan*

2. Membuat tanggul besar di seluruh Pantura untuk mencegah rob. Ini pun tidak mencukupi, karena tanggulpun ikut turun sesuai dengan muka tanah.

*Jawaban MM:*
*Bangun Tanggul yang tidak sensitif terhadap Land Subsidence... Sheet Pile yang didukung Pile yang dipancang ke lapisan keras*

3. Membangun waduk penampung air 13 sungai di luar tanggul untuk mengatur muka air muara sehingga lebih rendah dari permukaan tanah agar air sungai dapat mengalir terus. Pada saat musim hujan dan air berlebih, maka air dikeluarkan ke laut untuk menjaga permukaan air muara tetap berada di bawah permukaan tanah.

*Jawaban MM:*
*Lakukan ini tanpa Reklamasi bisa khan?... air muara direndahkan artinya bangun GSW atau menutup teluk.. Jakarta harus memompa air hujan yang turun di Daerah Cipanas, Bogor, dll... tidak hanya memompa air hujan yang turun di Daerah Land Subsidence*

4. Waduk ini juga dapat menjadi sumber air tawar untuk warga DKI. Untuk itu, maka fasilitas pengolahan limbah B3 dan pembersihan air dan daur ulang dibangun di dekat waduk. Sehingga air waduk layak untuk dijadikan sumber air PAM.

*Jawaban MM:*
*Mana bisa jadi Sumber Air Tawar kalau masih ada Shipping Lock dan air yang masuk penuh polutan?*

5. Sistem sanitasi air limbah rumah tangga akan dibangun dan akan tersambung dengan waduk, untuk kemudian didaurulang dan menjadi sumber air bersih. Target Gubernur petahana, tahun 2022 semua air limbah RT di Jakarta akan didaur ulang.

*Jawaban MM:*
*Bangun Pengolah Limbah kenapa harus Reklamasi?... Pengolah Limbah tanpa Sewer mana bisa?*

6. Untuk menghentikan subsiden, perlu untuk mengisi kembali air tanah Jakarta, maka akan dibuat jutaan sumur resapan di seluruh Jakarta. Selain itu, kerjasama dengan Pemkab Bogor untuk membangun waduk yang menampung air limpahan dari Bogor yg disambungkan dengan jalur-jalur air tanah yg mengalir Jakarta.


*Jawaban MM:*
*Lakukan ini tanpa reklamasi dan GSW*

7. Semua kegiatan ini memerlukan biaya yang besar. Untuk itu, maka dibangun perekonomian baru dalam bentuk ekosistem buatan yaitu pulau-pulau buatan untuk membiayai adaptasi ini.

*Jawaban MM:*
*Akibat Reklamasi... Buangan Limbah meningkat karena perumahan baru sementara Volume Air di Teluk menurun... anak lulusan SD saja akan paham Kadar Polutan = Polutan/Volume... kualitas air di Teluk Jakarta akan memburuk*

8. Tanah dari pulau-pulau buatan ini milik Pemda DKI , pengembang hanya memiliki HGB. Setiap pengembang menjual tanah, Pemda DKI mendapatkan 5% dari hasil penjualan. Gubernur petahana ingin menaikkan kontribusi tambahan menjadi 15% dan itulah yang menyebabkan kasus suap yg terjadi pada anggota DPR DKI.

*Jawaban MM:*
*Kenapa bangga dapat 15% sementara di negara lain Negara dapat 80% dari daerah reklamasi?*

9. Selain itu, jika ekonomi terbangun dengan baik, pemda DKI akan mendapatkan tambahan uang dari pajak dan PBB.

*Jawaban MM:*
*Biaya Operasi Giant Seawall akibat Reklamasi puluhan Triliun per tahun... Pemindahan PLTU dan Pelabuhan Perikanan negara Rugi Seratus Triliun*

10. Untuk meningkatkan hunian nelayan agar layak dan mendekatkan mereka kepada laut yang lebih bersih, maka Pemda akan membangun kampung nelayan baru, di pulau-pulau buatan itu lengkap dengan Tempat Pelelangan Ikan. Ini dapat menjadi pusat wisata baru seperti Fishermen Wharf di Sydney, San Fransisco dan tempat -tempat lain dunia.

*Jawaban MM*
*Teluk San Francisco tidak ditutup... nelayannya masih bisa melaut... beda teluk beda proses fisiknya tidak bisa disamakan*

Untuk mengadaptasi ekosistem yang sudah rusak dan tidak dapat balik, adaptasi yang direncanakan oleh Gubernur petahana adalah yang paling realistis untuk dikerjakan.

Semua kota besar dipinggir laut melakukan reklamasi, seperti Hongkong, Osaka, Singapura, Dubai, dan Miami dll. Water front areanya menjadi kawasan wisata atau komersil yang dapat dinikmati oleh warga maupun turis dan menjadi pusat ekonomi baru yang menghidupi kota dan warganya.


*Jawaban MM:*
*Bu Emmy... Gagal Paham Masalah... tidak ada 13 sungai besar yang masuk ke Daerah Reklamasi di Dubai, Singapore, Hongkong, Miami... Teluk Osaka tidak ditutup, prosentase Luas Reklamasi sangat kecil*

Kalau rencana NCICD dapat terlaksana, maka Pantura Jakarta akan menjadi kawasan Metropolitan yang indah, bersih, dengan kawasan dan kehidupan nelayan yang moderen dan sejahtera, jauh dari kekumuhan.

Yang ingin saya tambahkan dari rencana ini adalah pembuatan sabuk hijau Teluk Jakarta dengan membuat ekosistem bakau yang baru di sekeliling tanggul, waduk buatan maupun di pulau-pulau buatan dan kampung nelayan, untuk menjadi penahan gelombang ataupun untuk menjadi tempat hidup biota-biota laut yang berguna bagi nelayan.


*Jawaban MM:*
*Elevasi Air di GSW akan diturunkan 3 meter... nelayannya harus pindah... nelayan mana yang dimaksud bu Emmy?... nelayannya akan diusir*

Selain itu proses rembug warga pemda DKI perlu diperbaiki untuk meningkatkan rasa kepemilikan warga terhadap rencana ini. Beberapa rencana masih dapat disesuaikan dengan keinginan warga yang tulus.

Menghentikan reklamasi berarti menumpuk persoalan yang akan menjadi bom waktu yang akan menyengsarakan ratusan ribu rakyat Jakarta yang hidup di sana. Pilih #gubernurrealistis.


*Jawaban MM:*
*Melanjutkan Reklamasi... Jakarta Hancur... NKRI lebur...*

0 Comments

Pertemuan informal dengan Bapak Gubernur Jokowi berlangsung akrab dan sangat produktif

3/13/2013

2 Comments

 
Picture
Saya haturkan banyak terima kasih kepada Bapak Gubernur DKI Joko Widodo yang telah bersedia untuk menerima kami sore tadi. Diskusi mengenai Giant Seawall berlangsung hangat dan sangat produktif. Kami saling mengisi. Saya sudah sampaikan kelemahan dari kajian dan konsep disain yang diusulkan konsultan Belanda. Tidak lupa saya sampaikan Solusi Alternatif yang jauh lebih murah dibandingkan Giant Seawall untuk menghadapi masalah penurunan tanah di Jakarta. Pak Jokowi sangat menghargai sudut pandang akademis. Kesediaan beliau untuk menerima pengkritik patut ditiru oleh pejabat Indonesia lainnya.

Media salah menafsirkan bahwa pembangunan Giant Seawall akan dipercepat. Pak Jokowi ingin kajiannya dipercepat bukan pembangunannya. Beliau belum menyetujui konsep dan skema yang diusulkan oleh konsultan Belanda.

Saya masih melihat beberapa pemahaman beliau yang kurang tepat dalam masalah kelautan. Ini bukan salah beliau. Pak Jokowi bukan ahli kelautan. Ini kesalahan akademisi yang tidak aktif membantu beliau. Mungkin juga akademisi yang membisiki beliau mempunyai paham yang keliru.

Sudah saya sampaikan kepada pak Jokowi, Muslim Muin siap membantu setiap saat tanpa pamrih.

Selamat Bekerja Pejuang Rakyat Kecil
2 Comments

Giant Seawall Menutup 2 Pelabuhan Ikan Nusantara, Ratusan Ribu Masyarakat Maritim Harus Pindah, Apakah Kebijakan Yang Adil?

3/10/2013

0 Comments

 
Jika Giant Seawall Jakarta dibangun, 2 Pelabuhan Ikan Nusantara harus ditutup, puluhan ribu masyarakat nelayan bahkan mungkin ratusan ribu penduduk yang terkait dengan sektor kelautan penting ini harus dipindahkan. Sementara daerah reklamasi hanya untuk pemukiman puluhan ribu orang.

Indonesia kehilangan besar dari Sektor Kelautan dengan ditutupnya Pelabuhan Ikan Nusantara. Investasi pemerintah untuk fasilitas ini hilang percuma.

Sekarang jadi pertanyaan Apakah Jokowi-Ahok Pro Rakyat Kecil??
0 Comments

Giant Seawall memelintir Ancaman Gelombang Rob

2/23/2013

0 Comments

 
Giant Seawall Jakarta Project telah menyalahgunakan ancaman Banjir Rob. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari saya.
Rob adalah fenomena alam biasa dimana muka air laut pada elevasi tinggi. Rob terjadi pada saat pasang tertinggi dan diperparah lagi jika angin kencang bertiup kearah darat yang dikenal sebagai Storm Surge. Elevasi muka air ini akan lebih tinggi lagi jika gelombang panjang yang terbentuk di Laut Cina Selatan (Swell) merambat ke Teluk Jakarta. Sea Level Rise akibat Global Warming mempunyai kontribusi tapi masih dalam perdebatan ilmiah.

Indonesia tidak berada dalam daerah badai dengan kecepatan angin besar seperti di Belanda atau Amerika Serikat. Badai Sandy dan Katerina telah mengakibatkan naiknya muka air lebih dari 2 meter. Tinggi Storm Surge di Teluk Jakarta tidak akan lebih dari 0.4 meter dan ini sudah terjadi dari ribuan tahun yang silam. Orde Sea Level Rise masih dibawah 0.1 meter. Swell dari Cina Selatan tidak akan lebih dari 0.2 meter.

Jadi Rob adalah gelombang panjang dan fenomena alam biasa, jika terjadi anomali pasang surut dan Sea Level Rise, masalah ini akan berdampak pada Teluk Banten, Kalimantan dan tempat lainnya. Kenyataannya tidak demikian. Pasang Surut (Pasut) adalah akibat tarik menarik Bumi dengan Bulan, Matahari, dan Planet lainnya, terjadi secara teratur. Jika terdapat anomali Pasang Surut, artinya kita mendekati KIAMAT.

Rob akan menjadi Banjir Rob karena terjadi Subsidence. Kalau ingin menahan Banjir Rob, kenapa harus dengan Giant Seawall di lepas pantai??? Cukup dibuat Struktur yang kurang sensitif terhadap Subsidence pada daerah-daerah yang mengalami penurunan tanah.
0 Comments

Buruknya Kualitas Air didalam Giant Seawall Jakarta

2/23/2013

0 Comments

 
Picture
0 Comments

Tolak New Manhattan Ahok di Teluk Jakarta

2/22/2013

1 Comment

 
Tadi malam di Metro TV, Ahok menegaskan lagi tentang Giant Seawall Jakarta. DKI akan membangun New Manhattan di Teluk Jakarta. Gambaran singkat berikut menjelaskan kenapa kita harus menolak gagasan Ahok ini.
Picture





















Jika terjadi aliran air besar dari hulu, daerah mana yang akan tenggelam Daerah A atau Daerah B?

Jelas Daerah B, karena Daerah A menghalangi aliran di Teluk Jakarta!!!

Bayangkan Daerah A (perumahan mewah) yang merupakan hasil reklamasi diperluas di semua Teluk Jakarta. Keren buat orang kaya, banjir untuk masyarakat miskin Jakarta.

Picture




























Daerah A diperluas lebih lanjut menjadi New Manhattan, Jakarta sudah pasti akan lebih rawan banjir. New Manhattan atau daerah orang elit tidak akan kena banjir karena berada di teluk. Siapa yang akan membiayai Tanggul, Pompa, Sanitasi dll?? Menurut konsultan Belanda, harus Dana Rakyat (Public Funding).

Berikut ini skema Funding dan Layout Giant Seawall versi Konsultan Belanda, masihkah kita akan diam dengan gagasan seperti ini????

Funding dan Layout Giant Seawall Jakarta versi Belanda

Picture
Picture
1 Comment

Konsultasi Gratis MuTeknologi untuk DKI dalam mengkaji Giant Seawall

2/22/2013

0 Comments

 
Banyak orang salah sangka bahwa saya sedang mencari proyek dari DKI untuk mengkaji Giant Seawall. Berikut ini saya sampaikan bahwa Muslim Muin Tidak Akan Meminta Jasa Konsultasi Untuk Mengkaji Giant Seawall. Jika hasil studi hanya dihargai Rp 5 ribu, sumbangkan dana ini ke Masyarakat Nelayan Jakarta, seandainya dihargai Rp 1 Miliar, sumbangkan semuanya ke Masyarakat Nelayan Teluk Jakarta
0 Comments

Stop:::: Jakarta Coastal Defense Strategy dari Belanda

2/20/2013

0 Comments

 
Pemerintah harus buka ke publik presentasi konsultan Belanda tentang Jakarta Coastal Defense Strategy. Jokowi yang katanya pro rakyat jangan sampai hanyut dengan bisikan ngawur ini. Sebagai pakar hidrodinamika laut, sedimen, dan kualitas air, saya ngeri melihat bocoran layout dan strategy Belanda ini. Dari segi engineering Sangat Ngawur.

Saya bukan pakar ekonomi, simak usulan ahli ini tentang sektor pembiayaan:

Public Funding akan memikul biaya sebagai berikut:
1. Tanggul Laut dan Sungai
2. Waduk Retensi
3. Pompa
4. AIr Bersih
5. Air Limbah dan Sanitasi
6. Resettlement

Investor Funding akan memikul
1. Reklamasi
2. Jalan Tol
3. Pelabuhan

Ha...ha... hanya orang ngawur yang akan setuju dengan konsep Belanda ini.

Kalo Tanggul, pompa, dll, dari biaya masyarakat (150 Triliun). Waduh enak bener tuh investor. Bayangin aja, kalo saya bisa datangkan pasir urugan dengan harga USD 10 per m3, saya menguruk daerah dengan kedalaman 3 meter, setelah mempertimbangkan pasang surut, gelombang, settlement dll, akhirnya saya harus menguruk 6 meter. Artinya biaya reklamasi sekitar USD60 per m2, sekitar Rp 600 Ribu per m2. Saya jual Rp 3 juta per m2. Untung besar nih, Rp 2.4 Juta per m2...

Saya jadi investor aja ah... cape jadi ahli hidrodinamika, he..he..

Kalo saya dapat daerah 1kmx1km artinya sejuta m2, saya akan dapet untung = sejuta x Rp 2,4 juta = Rp 2.4 Triliun. Itu baru keuntungan dari reklamasi, saya akan lanjut dengan bisnis Toll dan Pelabuhan, waaah bisa naik Ferari nich?

Jangan khawatir, naik Soluna juga enak kalo pikiran bersih mah. Apalagi sekarang udah pake Inova..

Mestinya biaya pembuatan tanggul, waduk, pompa, dll.. harus ditanggung investor. Mereka juga dipungut pajak lebih tinggi karena harus menanggung biaya kerusakan lingkungan dan operasi pompa yang lebih besar....

Ayoooo semua... kasih tahu Jokowi sebelum terlambat....


0 Comments

Giant Sea Wall Jakarta, Proyek Mercu Suar Salah Kaprah dan Menyesatkan

2/17/2013

8 Comments

 
Tidak bisa dipungkiri, Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok telah mengambil beberapa langkah yang tepat dan bijaksana untuk DKI. Jauh hari sebelum menjadi gubernur DKI, saya sangat mengagumi sosok Jokowi. Demikian juga setelah Wagub Ahok membuat gebrakan yang patut dipuji. Untuk Giant Sea Wall yang memerlukan dana 150 Triliun, saya sangat tidak sepaham dan berseberangan dengan lokomotif DKI ini. Saya juga tidak mengerti, kenapa Ahok harus berpaling pada ahli di luar negeri? Padahal di negeri sendiri, Teknik Kelautan ITB  mempunyai keahlian di bidang ini, termasuk software atau perangat lunak yang jauh lebih baik.

Pemerintah DKI harus lebih arif dalam menangani masalah banjir Jakarta. Masalah penurunan tanah, perubahan elevasi muka air laut akibat Global Warming, Storm Surge yang sangat kecil dibandingkan di Belanda, Giant Sea Wall bukanlah solusi yang tepat.

Kenapa Giant Sea Wall Jakarta adalah proyek yang salah kaprah?  Berikut ulasan singkat dan dampak dari proyek mercu suar ini:
  1. Giant Sea Wall akan memperparah banjir di Jakarta bukan mengurangi.
  2. Biaya operasi pompa yang sangat tinggi karena memerlukan pompa yang lebih besar dibandingkan kondisi sekarang.
  3. Merusak lingkungan laut Teluk Jakarta
  4. Mempercepat pendangkalan sungai, diperlukan biaya pengerukan rutin yang lebih besar
  5. Mengganggu alur pelayaran

Kajian Hidrolika Sederhana

Mari kita mulai dengan kajian sederhana yang sangat mudah dipahami. Mahasiswa teknik yang telah mengambil kuliah dasar teknik Mekanika Fluida atau bahkan pelajar sekolah menegah memahami betul apa itu Debit Sungai?

Debit Sungai = Kecepatan Air x Luas Penampang Sungai

Jadi seandainya Kecepatan Air menurun, untuk mengalirkan debit sungai yang sama, akan dibutuhkan Luas Penampang Sungai yang Lebih Besar. Luas Penampang, secara sederhana bisa diberikan sebagai lebar dikalikan kedalaman air. Apa yang akan terjadi jika lebar sungai tidak bisa berubah (karena pemukiman dan sebagainya), kedalaman air harus bertambah agar bisa mengalirkan debit tadi. Artinya BANJIR. Sederhana bukan? Atinya jika Kecepatan Air berkurang, akibatnya banjir.

Nah, sekarang kenapa Giant Sea Wall akan mengurangi Kecepatan Air? Kita kembali lagi pada prinsip dasar yang sangat mudah dipahami oleh pembaca. Kecepatan Air bergantung pada Kemiringan Muka Air. Jika kemiringan makin besar, air akan mengalir lebih cepat, demikian juga sebaliknya.

Pembaca tentu paham sekali bahwa muka air laut merupakan titik terendah untuk mengalirkan air. Apa jadinya jika jarak ke titik terendah ini makin jauh, Kemiringan Muka Air Berkurang, artinya Kecepatan Air akan menurun, akibatnya Banjir (lihat ilustrasi Gambar 1). Sederhana bukan? Gitu aja kok repot? Kok harus minta tolong ke Belanda?

Nanti dulu, persoalan belum selesai. Apakah ada akibat lain jika Kecepatan Air menurun? Tidak usah Sarjana Teknik, masyarakat awam juga tahu, butiran padat dalam air atau dikenal sebagai sedimen akan lebih cepat mengendap. Akibatnya, sungai-sungai di Jakarta harus lebih sering dikeruk. Perusahaan pengerukan akan lebih senang? Proyek rutin lebih besar. Siapa yang menaggung biaya operasi ini?? Rakyat...

Saat debit dari hulu melebihi kemampuan sungai untuk mengalirkan air, diperlukan pompa. Tujuan pompa air adalah mengeluarkan air lebih besar dari air masuk sehinggan muka air menurun. Jika Giant Sea Wall jadi dibangun, pompa yang diperlukan akan lebih besar karena harus menyedot air dari daerah Jakarta sekarang ini sekaligus daerah reklamasi yang akan dibangun (kemungkinan daerah elit) dan daerah bagian dalam Teluk Jakarta. Kenapa rakyat harus menanggung operasi pompa yang notabene akibat rekalamasi untuk daerah elit?

Picture











Gambar 1 Akibat Giant Sea Wall, jarak ke titik terendah makin besar (B) dari sebelumnya (A), Kecepatan Air menurun. Akibatnya Banjir

Modeling Tiga Dimensi Hidrodinamika Laut
Wah, mungkin pembaca yang banyak berkecimpung dibidang hidrodinamika laut melihat kajian diatas sangat sederhana. Betul sekali, kajian sebaiknya berdasarkan modeling tiga dimensi. Harus dipahami bahwa kajian sederhana adalah dasar dari kajian yang lebih rumit dengan tujuan untuk memperoleh tingkat ketelitian yang lebih baik. Kajian lebih rumit tidak akan jauh dari prinsip dasar yang penulis uraikan diatas.

Apa itu Model Tiga Dimensi Hidrodinamika Laut?

Model Hidrodinamika adalah alat simulasi arus laut dengan menggunakan komputer. Dengan makin berkembang dan murahnya harga komputer saat ini, simulasi arus sungai dan laut lebih banyak dengan menggunakan Komputer. Persamaan hidrodinamika dasar yang diturunkan dari Teori Newton, diselesaikan melalui Metoda Numerik dengan bantuan komputer. Kenapa Tiga Dimensi? Karena arus sungai dan laut tidak sama untuk beberapa kedalaman dan posisi horizontal.

Saat ini model hidrodinamika laut sudah banyak tersedia tidak lagi sebagai alat riset, mulai dari software public domain yang gratis sampai software komersial bisa diperoleh dengan mudah. Salah satu metoda model hidrodinamika laut ini adalah Curvilinear Coordinate Technique, software Delft3D yang dikembangkan Belanda menggunakan metoda ini dengan keterbatasan bahwa sistim grid harus orthogonal. Apa yang terjadi jika software ini digunakan untuk Non-Orthogonal Grid? Hasil simulasi tidak akan akurat.

Teluk Jakarta mempunyai geometri yang rumit, apalagi setelah pembangunan Giant Sea Wall. Tidak mungkin membuat Orthogonal Grid System. Jadi untuk daerah ini memerlukan sebuah software yang bisa melakukan simulasi dengan menggunakan Non-Orthogonal Grid System. Apakah Indonesia mempunyai kemampuan untuk itu?

Dua puluh tahun yang lalu, menyandang mandat beasiswa dari pemerintah Indonesia, penulis menuntut ilmu ke Amerika Serikat sampai tingkat doktoral. Sebagai disertasi, penulis berhasil mengembangkan Three Dimensional Hydrodynamics Model Using Non-Orthogonal Technique in Spherical Coordinate. Model hidrodinamika ini sudah banyak dipakai diseluruh dunia, termasuk di Bay of Fundy di Canada yang merupakan daerah dengan tunggang pasang surut tertinggi. MuTeknologi Software dikembangkan untuk sistim grid Non-Orthogonal.

Nah jadi Indonesia mampu untuk mengkaji masalah Banjir Jakarta. Tapi kok diam saja. Itulah frekuensi alamiah dari seorang akademisi, jauh dari frekuensi bisnis. Software MuTeknologi banyak dipakai didunia perminyakan dan tambang di Indonesia tanpa promosi yang berlebihan. Dunia Industri rajin mencari sumber daya lokal, berbanding terbalik dengan badan pemerintah. PT Freeport Indonesia (PTFI), sebagai perusahaan tambang besar didunia mempercayai MuTeknologi Software untuk kajian mereka. Gambar 2 menyajikan Non-Orthogonal Grid System untuk aplikasi model MuTeknologi Software di PTFI. MuQual3D sangat mampu untuk mesimulasikan arus laut dan kualitas air di Teluk Jakarta.

Pengalaman penulis, setelah kembali sekolah dari Amerika Serikat dua puluh tahun yang lalu, badan pemerintah selalu lebih senang membeli software asing daripada memakai software buatan bangsa sendiri. Kenapa? Kalo beli dari luar negeri, bisa sekalian training dan jalan-jalan ke luar negeri, masuk akal. Sebagai pengagum pasangan Jokowi-Ahok, saya ingin melihat kondisi ini berubah. Harus lebih selektif untuk meneruskan kebijakan regim sebelumnya.

Dampak Lingkungan Laut

 Penulis kaget saat membaca kutipan dari detik news berikut ini:

"Kita tidak bisa mengkonsumsi hasil perikanan dari sini, tetapi orang tetap menjualnya juga, misalnya kerang. Kita tidak punya pilihan lain kecuali mereklamasi Teluk Jakarta ini," tegas Ahok.

Saya kaget mendengar seorang Wakil Gubernur berpandangan seperti ini. Dengan mereklamasi, semua biota laut yang berada disana hilang. Jakarta kehilangan sumber daya laut untuk daerah tersebut.

Apakah ada data pendukung bahwa semua biota disana tercemar? Seandainya hanya kerang yang tercemar, kenapa semua biota harus dimusnahkan?

Jika suatu perairan laut tercemar, mestinya DKI menerbitkan peraturan dan memasang tanda “Daerah Tercemar Dilarang Mengambil Hasil Perikanan Disini”. Selanjutnya DKI mengontrol dan memonitor pembuangan limbah pada daerah tersebut. Lakukan perbaikan Lingkungan Laut dengan bantuan software water quality modeling dan usaha lainnya.

Solusi ala Ahok yang akan mereklamasi perairan laut tercemar, mungkin yang pertama didunia. Kecuali memang ada tujuan terselubung yaitu membangun perumahan mewah didaerah tersebut dengan biaya operasi perawatan selanjutnya ditanggung rakyat. Seandainya pemerintah DKI menerapkan pajak khusus untuk daerah reklamasi ini, sebagai kompensasi bagi para nelayan yang kehilangan pendapatan, biaya kerusakan lingkungan, dan biaya operasi pompa yang sangat besar, bisa jadi kebijakan ini bisa diterima. Saya tidak pernah mendengar bahwa pajak khusus ini akan diterapkan.

Dampak lingkungan yang mengerikan dari Giant Sea Wall Jakarta adalah makin memburuknya kualitas air di Teluk Jakarta karena polutan akan terperangkap didaerah ini.

Picture










Gambar 2 Non-Orthogonal Grid System di PT Freeport Indonesia (aplikasi MuTeknologi Software)

8 Comments
<<Previous
    Picture

    Author

    Muslim Muin Ph.D.
    Faculty Member
    Ocean Engineering

    Institut Teknologi Bandung

    Archives

    November 2021
    February 2017
    March 2013
    February 2013
    January 2013

    Categories

    All

    RSS Feed

Powered by Create your own unique website with customizable templates.