Menghadapi Global Warming, Infrastruktur Hijau Menjadi Keharusan
Muslim Muin
Dosen Institut Teknologi Bandung
Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan DKI
Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan bahwa penyebab banjir di Sintang adalah akibat kerusakan hutan. Saya yakin pembaca setuju dengan saya bahwa kita perlu menghargai sikap tegas presiden ini, dengan bijaksana mengakui kesalahan/aib pemerintah selama puluhan tahun ini, dan berjanji akan memperbaikinya segera. Presiden tidak keluar dengan solusi Normalisasi Sungai dengan memperlebar dan menanggul sungai dengan sheet pile, tapi dengan Naturalisasi yaitu memperbaiki pengelolaan Catchment Area atau Daerah Tangkap Air (DTA) karena perubahan tataguna lahan tanpa kendali. Jika Normalisasi sungai dilakukan di Sintang, pemerintah harus melakukannya dari hilir ke hulu, panjangnya lebih dari 300 km, jelas pemerintah tidak akan mampu melakukannya. Seandainya sungai di Sintang dilakukan normalisasi, sementara di hilir tetap tersumbat, niscaya Sintang akan tetap banjir.
Infrastruktur Hijau (Naturalisasi) vs Infrastruktur Keras (Normalisasi)
Istilah Naturalisasi dan Normalisasi dalam penataan sungai di Indonesia sebetulnya kurang lazim. Istilah yang lebih lazim adalah Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure) untuk istilah Naturalisasi, dan Infrastruktur Keras (Hard Infrastructure) untuk istilah Normalisasi yang kita kenal selama ini. Pemerintah sudah terlanjur memakai istilah Normalisasi Sungai waktu memperlebar, mengeruk, meluruskan, dan memasang Sheet Pile sepanjang sungai-sungai untuk mengendalikan banjir di Indonesia. Sebetulnya yang dilakukan pemerintah ini justru bertolak belakang dengan normalisasi sungai itu sendiri. Yang dimaksud dengan Normalisasi Sungai adalah mengembalikan sungai pada kondisi semula atau kondisi normalnya, dimana kelokan sungai tetap dipertahankan, sungai tetap punya ruang untuk meluap, perubahan lahan dikendalikan, dan sebagainya. Sementara Naturalisasi sebetulnya adalah proses perubahan status seorang warga negara, dan tidak lazim dipakai untuk penataan sungai. Kita lanjutkan saja pembahasan masalah ini, apalah artinya sebuah istilah sepanjang kita paham apa yang dimaksud dari kedua istilah tersebut.
Normalisasi adalah sebuah usaha untuk menormalkan sebuah kondisi yang tidak normal menjadi normal. Land Subsidence atau penurunan muka tanah adalah sebuah contoh kondisi tidak normal, perlu normalisasi. Melindungi daerah itu dengan tanggul, pintu air, dan pompa atau dikenal sebagai sistim polder adalah salah satu bentuk keterpaksaan. Normalisasi menjadi sebuah keterpaksaan karena hampir tidak mungkin mengembalikan Daerah Land Subsidence tersebut ke elevasi semula, walaupun mungkin bisa menghentikannya. Memperbesar kapasitas saluran drainase dan sungai dengan pelebaran dan mempertinggi tanggul juga sebuah Normalisasi jika kerusakan DTA yang mengakibat Debit Banjir makin besar dianggap sebagai Debit Normal.
Yang dimaksud Naturalisasi disini adalah suatu usaha memperbaiki sebuah masalah melalui cara yang lebih ramah lingkungan. Naturalisasi kita butuhkan dalam menghadapi ancaman Global Warming, tidak hanya di Jakarta tapi untuk seluruh Indonesia. Solusi presiden untuk memperbaiki Daerah Tangkap Air (DTA) di Sintang merupakan sebuah usaha Naturalisasi. Biaya memperbaiki DTA jauh lebih murah dan bermanfaat daripada biaya Normalisasi Sungai. Dari kejadian Banjir Sintang dan Banjir Ciliwung, kita bisa lihat, naturalisasi itu sudah menjadi sebuah keharusan apalagi menghadapi Global Warming.
Global Warming adalah ancaman nyata yang jadi perhatian serius pemimpin dunia. Selain berdampak pada pola arus laut global yang menakutkan, akibat dari pemanasan global adalah; (1) Sea Level Rise atau kenaikan muka air laut, (2) Perubahan cuaca Ekstrim. Solusi yang tepat dari Presiden Joko Widodo untuk kasus Banjir Sintang perlu menjadi landasan nasional menhadapi Global Warming.
Kenaikan Muka Air Laut Akibat Global Warming dan Pasang Surut
Sea Level Rise akibat Global Warming masih kecil yaitu sekitar 1,6 mm per tahun dan nilainya hampir merata untuk seluruh dunia. Sea Level Rise bukan ancaman Negara. Belum ada Negara di dunia ini yang membangun tanggul laut karena ancaman Sea Level Rise.
Tiap jam elevasi air laut naik turun secara teratur. Pasang Surut adalah naik turunnya muka air laut akibat gaya tarik menarik bumi dengan planet lain. Tarik menarik bumi tidak akan pernah berubah kecuali ada perubahan geometri yang signifikan dan dunia mendekati kiamat. Pasang surut suatu daerah tidak akan dipengaruhi oleh Global Warming.
Sampai saat ini banyak orang belum memahami pasang surut laut. Makin tinggi tunggang pasang surut akan lebih mudah mengendalikan banjir dan kualitas air di Teluk Jakarta. Di Jakarta nilai tunggang pasang surut hanya sekitar 1,2 meter, jauh lebih rendah dibandingkan di Korea yang bisa mencapai 8 meter. Korea menutup teluk karena bisa memanfaatkan pasang surut. Tanggul laut Saemangum Korea hanya memerlukan pintu air untuk mengendalikan banjir. Pintu Air dibuka saat air laut surut yang kemudian ditutup saat air laut pasang. Selisih tinggi muka air ini dimanfaat sebagai tampungan air banjir. Jadi tanggul laut Saemangum tidak memerlukan pompa raksasa, biaya operasi sangat murah. Berbeda dengan Teluk Jakarta, apabila teluk ditutup maka diperlukan pompa raksasa terbesar di dunia, besarnya ribuan m3/det. Jelas, pasang surut bukan ancaman negara.
Selain pasang surut, muka air laut juga bisa naik karena dorongan gaya angin atau badai yang dikenal sebagai Storm Surge. Beruntung, Indonesia berada di jalur equator, badai angin kencang yang menenggelamkan Kota New Orleans Amrika Serikat, hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia. Dengan perubahan iklim sekalipun nilai Storm Surge di Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan negara subtropis.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Sea Level Rise bukan ancaman negara, kenaikan muka air laut bukan penyebab Banjir Rob, tapi Land Subsidence sebagai penyebabnya. Tanah yang turun dikira Air Laut yang naik.
Perubahan Cuaca Ekstrim Akibat Global Warming
Perubahan Cuaca Ekstrim akibat Global Warming adalah ancaman serius untuk negara kita. Bisa dibayangkan, jika kita tidak menyimpan air di dalam tanah selama hujan, Indonesia akan kekurangan air dalam musim kemarau yang sangat menakutkan.
Kenapa sebaiknya menyimpan air dalam tanah daripada di waduk? Karena dengan menyimpan air dalam tanah dapat menghindari pengurangan air akibat penguapan. Contohnya waduk di Los Angeles California, Amerika Serikat malah diberi bola-bola plastik untuk mengurangi kehilangan air akibat penguapan. Keuntungan menyimpan air ke dalam tanah, akan memperbaiki kerusakan aquiver air tanah yang jadi salah satu penyebab Land Subsidence.
Perubahan Cuaca Ekstrim juga telah merubah pola intensitas hujan ekstrim, mengakibatkan puncak intensitas hujan ekstrim semakin tinggi. Hanya Tuhan yang bisa mengendalikan curah hujan, tapi manusia bisa mengendalikan debit banjir melalui pengendalian DTA. Naturalisasi di DTA adalah kunci untuk menghadapi ancaman perubahan cuaca ekstrim akibat global warming.
Naturalisasi Daerah Tangkap Air (DTA) dengan Gerakan Lumbung Air (GELA)
Naturalisasi Sungai tidak bertujuan untuk mempercantik sungai dengan batu-batu alami sehingga kelihatan lebih alami, indah dipandang mata, lebih menyerap air, dan jadi tempat wisata. Penyerapan air disepanjang sungai itu sangat kecil. Naturalisasi tidak dilakukan di sungai tapi di Daerah Tangkap Air (DTA).
Naturalisasi adalah sebuah usaha mengembalikan DTA sesuai dengan fungsi alaminya yaitu sebagai tampungan, pengendalian debit permukaan (Runoff), penyerapan, dan penahan erosi. Dengan mengendalikan DTA, kita bisa memangkas puncak debit banjir, menguragi erosi, dan menabung air dalam tanah untuk dimanfaatkan saat musim kemarau. Naturalisasi jangan selalu diartikan sebagai keharusan untuk mengembalikan sebuah kawasan menjadi hutan.
Perubahan lahan tidak bisa dihindari karena manusia membutuhkan lahan untuk berladang, beternak, dan tempat tinggal. Beruntung, nenek moyang Indonesia sudah mewariskan kita dengan cara-cara yang cerdas dalam mengendalikan DTA dengan naturalisasi, yaitu yang dikenal dengan terasering. Sawah dan kebun di Bali, Jawa, Sumatera, dan daerah lainnya, dibangun nenek moyang kita dengan terasering, yaitu menangkap air hujan, mengendalikan air permukaan (Runoff), mengurangi erosi, dan memperbesar penyerapan air ke tanah. Kenapa kita tetap melupakan kearifan lokal ini padahal sudah merdeka 76 tahun.
Gerakan Lumbung Air (GELA) bukan barang baru. Mengikuti nenek moyang Indonesia agar hidup bersahabat dengan air hujan; (1) Tampung Air Hujan, (2) Gunakan Air Hujan, (3) Resapkan Air Hujan ke tanah sedapat mungkin, dan (4) Sisanya baru dibuang perlahan.
Generasi yang lahir sekitar tahun 1960 pasti masih ingat saat ke kampung mengunjungi nenek tercinta. Nenek kita punya bak tampungan air hujan yang besar dan dalam. Air hujan ditangkap dari atap rumah masuk bak besar. Dulu kita mandi dari tampungan air hujan yang dingin dan segar. Dengan menampung dan menggunakan air hujan, nenek kita sudah sudah memangkas puncak debit air ke saluran.
Sudah jadi tradisi bangsa Indonesia bahwa tiap rumah akan dilengkapi dengan empang tampungan air hujan, tidak hanya sebagai tempat membersihkan kaki sebelum masuk rumah tapi juga sekaligus sebagai tempat memelihara ikan untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga. Empang ini juga berfungsi sebagai tampungan air untuk menyerapkan air ke dalam tanah dan mengeluarkan air hujan secara perlahan.
Naturalisasi Banjir Lokal dan Banjir Kiriman
Waduk Ciawi yang sedang dibangun pemerintah jelas sangat efektif memangkas puncak debit banjir Sungai Ciliwung. Membangun waduk kering seperti Waduk Ciawi adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi masalah Banjir Kiriman ke Jakarta. Membangun waduk sering terkendala dengan lahan yang tersedia dan biaya yang besar. Mengendalikan DTA dengan GELA jauh lebih murah dan mudah untuk memperkecil puncak debit banjir.
Selain akibat Banjir Kiriman, genangan di sebuah kawasan bisa disebabkan sistim drainase yang tidak memadai. Memperbesar drainase akan percuma kalau sungai sebagai tempat pembuangan air juga meluap. Kita tidak ada pilihan lain yaitu menampung air dari kawasan di waduk atau menjalankan GELA. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah membangun waduk besar dalam sebuah kawasan perumahan lebih efektif daripada melalui GELA? Jika kita membangun waduk besar, dengan sendirinya akan membutuhkan saluran drainase besar untuk mengalirkan air dari kawasan ke waduk tersebut. Dengan GELA kita menangkap air langsung dari persil-persil rumah dan dimasukkan ke dalam tanah sedapat mungkin, kebutuhan akan saluran drainase bisa jadi lebih kecil. Menangkap air hujan di persil-persil perumahan jauh lebih efektif untuk mengendalikan Banjir Lokal dan lebih aman untuk memperbaiki lapisan aquiver.
Sumur Resapan, Menampung Air di Taman, Memasukkan Air Hujan dari Atap ke Sumur Rumah
Membangun Sumur Resapan (SR) juga sebuah usaha untuk memperbaiki DTA. SR tidak bisa jadi obat untuk banjir kiriman. Air permukaan ditampung di SR dengan harapan akan terserap ke dalam tanah. Disain standar pembangunan SR adalah untuk Muka Air Tanah (MAT) minimum 4 meter dari permukaan. SR hanya untuk air hujan bukan untuk air buangan. Dengan menampung air hujan dan menyerapkannya kedalam tanah secara perlahan, artinya kita akan memangkas Puncak Debit Banjir.
Jika sebuah kawasan memiliki MAT yang dangkal dan susah menyerapkan air kedalam tanah maka tampungan air hujan yang dibangun diatas tanah akan sangat bermanfaat dalam memangkas puncak debit banjir. Jika tampungan air hujan tersebut dilengkapi dengan sebuah pembuangan kecil, maka air ditampungan akan dikeluarkan dalam waktu yang lebih lama dan debit air yang mengalir ke drainase menjadi lebih kecil.
Merubah taman perkotaan dari cembung menjadi cekung juga sebuah bentuk Naturalisasi. Taman yang cekung akan menampung air hujan terlebih dahulu, selanjutnya meresap ke dalam tanah. Jika tetap ada genangan karena kondisi tanah tidak menyerapkan air, genangan ini bisa dipompa ke drainase perlahan. Menampung air hujan dan taman-taman rumah sangat efektif dalam memangkas Puncak Debit Banjir.
Hampir delapan puluh persen dari tataguna lahan di Jakarta merupakan gedung dan perumahan. Sebagian besar warga Jakarta (50%) menggunakan sumur sebagai sumber air baik dari sumur gali maupun sumur bor. Jika air dari talang atap rumah ditampung dulu di tampungan air yang berfungsi sebagai penyaring sebelum masuk ke dalam sumur-sumur rumah, dampaknya akan luar biasa dalam memangkas puncak debit banjir kota Jakarta.
Normalisasi Sungai
Normalisasi Sungai Ciliwung di Jakarta selalu menjadi perdebatan sengit baik di kalangan akademisi bahkan sudah melebar ke ranah politik. Padahal akar masalah dan solusi sangat sederhana yang sama dengan kasus Banjir Sintang, yaitu memperbaiki DAS Ciliwung.
Normalisasi Sungai bertujuan memperbesar kemampuan sungai atau saluran untuk mengalirkan air ke hilir, Normalisasi dilakukan dengan cara berikut; (1) Memperbesar penampang sungai dengan memperlebar, memperdalam, dan mempertinggi tanggul, (2) Memperbesar kecepatan aliran dengan mempertajam kemiringan sungai dan rekayasa kekasaran sungai. Normalisasi harus dimulai dari hilir bukan dari hulu. Normalisasi harus dimulai dari Kanal Banjir Barat bukan dari Ciliwung.
Normalisasi Sungai membutuhkan dana yang besar dengan konsekuensi yang besar pula. Membuang air ke laut secepatnya mengakibatkan kita akan kekurangan air saat kemarau panjang. Ancaman nyata dari global warming adalah perubahan cuaca ekstrim, musim hujan yang singkat dengan intensitas hujan yang tinggi, dan musim kemarau yang panjang. Membuang air hujan secepatnya ke laut sebuah langkah yang berbahaya untuk ketahanan Negara.
Sebetulnya yang tidak normal itu penampang sungai atau debit sungai yang semakin tidak normal karena akibat kerusakan DAS? Berapa besar debit sungai yang dianggap sebagai Debit Normal itu? Sementara kerusakan DAS Ciliwung tetap dibiarkan berlanjut. Mempersempit sungai untuk pemukiman jelas perbuatan yang salah dan harus ditertibkan, tapi memperlebar sungai untuk membuang air secepatnya adalah sebuah kebijakan yang tidak tepat terutama ketika negara dibawah ancaman global warming. Solusi yang tepat adalah seperti disampaikan Presiden Joko Widodo, yaitu memperbaiki DTA.
Normalisasi Drainase
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan sistem drainase yang baik sesuai dengan rencana dan bekerja normal atau tidak tersumbat. Jika kemiringan sama, makin ke hilir ukuran penampang drainase seharusnya semakin besar. Tidak jarang kita jumpai malah sebaliknya, misalnya kasus di Jalan Panjaitan Jakarta yang sering tergenang. Di lokasi ini bisa kita jumpai 3 saluran drainase besar menuju gorong-gorong kecil, sudah pasti meluap. Jika gorong-gorong ini diperbesar atau ditambah, luapan ini akan pindah di hilir karena ukurannya juga kecil. Bisa disimpulkan bahwa Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu.
Sistem saluran drainase dirancang mengalirkan air untuk curah hujan tertentu. Intensitas hujan berapa yang bisa dianggap normal itu, curah hujan ekstrim dengan perioda ulang 10 tahunan, 20 tahunan, atau 100 tahunan? Waktu kejadian hujan ekstrim malam tahun baru 2020, banyak kalangan yang menyalahkan Pemda DKI tidak becus bekerja. Padahal hujan yang turun saat itu sangat ekstrim, intensitas hujan tertinggi selama ini, 377 mm/hari atau hujan dengan periode ulang 300 tahun. Lalu apakah kita harus merancang Sistem Drainase untuk periode ulang 300 tahunan? Tentu tidak tepat karena tidak ada kota di dunia yang merancang Sistem Drainase untuk curah hujan yang demikian besar. Jika kita merancang Sistem Drainase untuk curah hujan 300 tahunan, Jakarta akan penuh dengan saluran, tidak ada lagi ruang untuk perumahan, gedung, kantor, jalan, dan sebagainya.
Drainase tidak dibangun untuk menerima luapan sungai tapi dirancang untuk mengalirkan air dari DTA ke sungai. Sistim drainase akan bekerja normal kalau sungai tidak meluap atau tersumbat. Memperlancar drainase di Jakarta, sementara muara tetap tersumbat, tidak akan menyelesaikan masalah.
Normalisasi dan Naturalisasi di Kawasan Land Subsidence Jakarta
Penurunan muka tanah (Land Subsidence) sebuah ancaman nyata untuk Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia. Laju penurunan tanah di Jakarta hampir 30 kali Sea Level Rise. Land Subsidence adalah ancaman serius Negara Indonesia. Pada saat air laut pasang tinggi, air menggenangi lahan di pantai yang dikenal sebagai banjir rob. Jelas kondisi ini adalah sebuah kondisi yang tidak normal dan perlu dinormalkan. Normalisasi harus dilakukan dengan melindungi daerah Land Subsidence tersebut dengan membangun tanggul dan menyediakan pompa yang mencukupi saat hujan. Daerah Land Subsidence harus diperlakukan sebagai polder dimana hanya air hujan yang masuk bukan air dari kawasan sekitarnya. Jelas Jakarta terpaksa melakukan Normalisasi ini karena Land Subsidence susah dikendalikan.
Selain Normalisasi dengan pompa dan tanggul, Naturalisasi tetap diperlukan di daerah Land Subsidence. Membangun waduk dan melaksanakan Gerakan Lumbung Air (GELA) termasuk Naturalisasi. Walaupun daerah Land Subsidence tersebut tidak bisa menyerapkan air, GELA tetap berguna karena bisa memperkecil saluran drainase dan besar pompa yang diperlukan. Sebagai contoh adalah masalah Land Subsidence di kawasan Kamal Jakarta yang sering dilanda banjir. Debit Rencana dengan perioda ulang 25 tahun dari total DTA polder Kamal ini sekitar 160 m3/det. Apakah dengan pompa 160 m3/det akan menyelesaikan masalah? Belum tentu, karena pompa besar akan memerlukan saluran besar pula. Memperbesar saluran di kawasan perumahan padat seperti di Kawasan Kamal bukan perkara mudah, dan boleh dikatakan sangat sulit. Untuk memperkecil kebutuhan pompa di muara Kamal tersebut, pada masing-masing DTA perlu dibangun waduk-waduk untuk memangkas puncak debit banjir dan memperkecil kebutuhan saluran dari masing-masing DTA sehingga dengan pompa 30 m3/det diharapkan polder Kamal tidak banjir lagi. Jadi jelas Naturalisasi di kawasan Land Subsidence sudah menjadi keharusan.
Masalah Kemampuan Membuang Air ke Laut di Muara Jakarta
Masalah utama dari sungai-sungai di Jakarta adalah kemampuan sungai untuk mengeluarkan air ke laut itu sangat terbatas karena tunggang pasang surut di Jakarta sangat rendah. Untuk daerah hilir yang sudah dipengaruhi pasang surut, kecepatan air sungai menuju laut menurun drastis sehingga diperlukan penampang sungai yang sangat besar.
Misalnya untuk muara Kanal Banjir Barat (KBB), kemampuan mengalirkan air ke laut hanya sekitar 300 m3/detik, seandainya Ciliwung dilakukan Normalisasi, debit air yang akan menuju muara sekitar 800 m3/det, sudah pasti banjir. Untuk memperlebar daerah muara saat ini sangat tidak mungkin karena harus memindahkan banyak bangunan tinggi. Kasus yang hampir sama terjadi di Cengkareng Drain, kemampuan muara mengeluarkan air ke laut kurang dari 200 m3/det. Jika Kali Angke dan Kali Pesanggrahan dilakukan Normalisasi, maka debit air yang akan lewat sekitar 720 m3/det, sudah pasti banjir. Mengeringkan genangan di daerah hilir jauh lebih susah dari hulu karena diperlukan pompa.
Selain memperlebar KBB dan Cengkareng Drain. Kita bisa juga mempertinggi tanggul diatas jalan, tanggul setinggi 8 meter sangat beresiko, selain kita harus mempertinggi jembatan dan lain-lain yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Alternatif lain adalah mengeruk kedua sungai tersebut sampai kedalaman 8 meter dibawah Surut Laut Terendah, Lowest Water Spring (LWS). Laut adalah titik terendah di muka bumi. Jadi mestinya kita mendekatkan laut ke daerah genangan bukan menjauhi laut dengan menutup teluk. Mengeruk sungai-sungai sampai kedalaman 8 meter dibawah LWS bisa menjadi solusi Banjir Jakarta. Artinya kita membawa laut masuk kea rah genangan. Dampak dari mengeruk adalah masuknya air asin (salinity intrusion) dan pengendapan sedimen akan terjadi di sungai jika terhubung dataran tinggi. Sehingga harus ada program pengerukan rutin di sungai tersebut.
Resonansi Gelombang Pasang Surut di Sungai dan Kanal
Membuat kanal yang dipengaruhi pasang surut harus memperhatikan aspek resonansi gelombang pasang surut. Makin panjang kanal yang dikeruk, tunggang pasang surut di kanal tersebut akan makin besar. Resonansi akan terjadi jika panjang kanal mendekati seperempat panjang gelombang pasang surut. Jadi pengerukan harus dilakukan dengan hati-hati, jika terjadi resonansi, tunggang pasang surut di kanal akan besar sekali walaupun pasang surut di Teluk Jakarta tidak akan berubah.
Penutup
Kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) akibat Global Warming bukanlah ancaman Negara karena nilainya kecil, dan belum ada Negara di dunia yang membangun tanggul laut menghadapi Sea Level Rise. Ancaman negara yang paling serius yaitu Land Subsidence dan Perubahan Cuaca Ekstrim
Menghadapi ancaman Global Warming, Infrastruktur Hijau (Naturalisasi) menjadi sebuah keharusan, sementara Normalisasi sebaiknya kita lakukan karena keterpaksaan. Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu. Normalisasi harus dimulai dari Muara Kanal Banjir Barat bukan dari Ciliwung. Menyelesaikan genangan di hilir akibat luapan sungai dari hulu jauh lebih susah daripada genangan di hulu. Genangan banjir dihilir harus dikeringkan menggunakan pompa. Sedangkan genangan di hulu bisa lebih cepat karena dibantu oleh gaya gravitasi.
Normalisasi dan Naturalisasi sama-sama kita butuhkan menghadapi ancaman Global Warming di daerah Land Subsidence. Normalisasi dilakukan karena suatu keterpaksaan sebab kita tidak mempunyai pilihan lain, sementara Naturalisasi adalah sebuah keharusan karena pompa besar butuh saluran besar.
Gerakan Lumbung Air (GELA) adalah pilihan yang paling tepat sebagai Solusi Banjir di Indonesia. GELA adalah gabungan gerakan Rain Harvesting dan Vertikal Drainase, warisan kearifan nenek moyang Indonesia, sangat efektif untuk melandaikan Puncak Debit Banjir. Khusus untuk Jakarta jika GELA dilakukan di persil-persil perumahan, akan memangkas Debit Banjir paling tidak 50%.
Masalah utama di sungai-sungai Jakarta adalah kemampuan mengeluarkan air ke laut yang sangat kecil. Membangun pompa besar di hilir tidak akan menyelesaikan masalah karena pompa besar akan membutuhkan saluran yang besar pula yang sulit dibangun karena keterbatasan ruang di kota-kota besar. Memperbesar ukuran drainase akan percuma jika daerah hilir tersumbat.
Mendekatkan laut ke daerah genangan melalui pengerukan dan menanggul sungai di muara harus dilakukan dengan memperhatikan dinamika laut pasang surut, salinitas, dan sedimentasi.